Minggu, 07 Juni 2020

Aksioma dan prinsip dalam etika bisnis islam

Upaya Merumuskan Aksioma Prinsip Dasar Etika Islami dan Prakteknya
Pandangan Islam tentang manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri dan
lingkungan sosialnya dapat direpresentasikan dengan empat aksioma etika yang
komprehensif untuk digunakan sebagai dasar yang memadai dalam merumuskan pernyataan
ekonomi. Meskipun, masing-masing aksioma dijabarkan secara beragam dalam sejarah
manusia, tetapi suatu konsensus yang luas telah berkembang tentang makna komulatifnya
bagi perspektif sosial ekonomi muslim. (Naqvi, 1993: 77-103).
Prinsip-prinsip yang mendasari etika Islam
1. Keesaan (unity)
Prinsip keesaan adalah bentuk dimensi vertikal sebagaimana terefleksikan dalam
konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim, baik dalam
bidang ekonomi, politik, sosial dan agama serta mementingkan konsep konsistensi dan
keteraturan yang menyeluruh. Tauhid merupakan konsep serba eksklusif dan inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat
kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip perpaduan
yang kuat sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada Allah semata.
Dalam pengertian absolut, kehidupan manusia di bumi ini secara keseluruhan berada dalam
konsep tauhid yang hanya berhubungan dengan Tuhan. Prinsip ini menghasilkan keyakinan
kesatuan dunia dan akhirat serta kesatuan umat manusia. Hal ini akan membawa seorang
pelaku ekonomi untuk tidak hanya mengejar keuntungan material semata, namun juga
keuntungan yang lebih kekal dan abadi serta menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap
sesama manusia. Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi
dari tauhid. Konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang
berkelas-kelas. Maka, implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin
persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama
dalam ekonomi. Dalam pandangan al-Quran, filsafat fundamental dari ekonomi Islam adalah
tauhid. Hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik
menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang
sesuai dengan kehendak Allah. Prinsip tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan
Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber dan berakhir
pada Allah. Hal ini berlaku dalam kegiatan ekonomi dan mengantar manusia untuk meyakini
bahwa harta benda yang didapatkan dari hasil usaha ekonomi adalah milik Allah.
(Shihab,1997:409-410).
Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi dan sosial
demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini maka etika dan ekonomi menjadi
terpadu, vertikal maupun horizontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam
sistem Islam yang homogen yang tidak mengenal keterputusan. Jadi, ekonomi Islam adalah
ekonomi yang berdasarkan tauhid. Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi
Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat
sekularisme dan materialisme.
Prakteknya dalam bisnis :
a. Tidak ada diskriminasi baik terhadap pekerja, penjual, pembeli, serta mitra kerja
lainnya (QS.49:13).
b. Terpaksa atau dipaksa untuk menaati Allah SWT (QS. 6:163)
c. Meninggalkan perbuatan yang tidak beretika dan mendorong setiap individu untuk
bersikap amanah karena kekayaan yang ada merupakan amanah Allah (QS. 18:46)
2. Keseimbangan (equilibrum)
Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang
berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang kita
lihat pada alam semesta mencerminkan keseimbangan yang harmonis. (Beekun,2000:23).
Prinsip keseimbangan mengantar manusia meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Allah
dalam keadaan seimbang dan serasi. Hal ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang,
serasi dan selaras dengan dirinya sendiri, namun juga menuntutnya untuk menciptakan ketiga
hal tersebut dalam masyarakat, bahkan alam seluruhnya. Prinsip ini sebagai tambahan
terhadap dimensi vertikal, yang dalam pengertian yang sangat istimewa adalah untuk
menunjukkan keadilan. Kata al-adl berarti keseimbangan, sepadan, dan ukuran. (Munawwir,
1997:905-906).
Istilah keadilan dalam al-Qur’an diungkapkan dengan kata al-adl, al-qisth, al-mizan,
alahkam,al-qawam, amtsal, al-iqtisada. (Raharjo,1996:374). Sifat adil bukan hanya
sekedar karakteristik alami, melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus
diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya. Oleh karena itu, konsep al-adl dalam
persepsi Islam adalah keadilan Ilahi, artinya moralitas didasarkan pada nilai-nilai absolut
yang diwahyukan Allah dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam
perspektif Muthahhari, definisi keadilan mengarah pada empat hal, yaitu keadaan sesuatu
yang seimbang, persamaan dan penafian segala bentuk diskriminasi, pemeliharaan hak-hak
individu dengan pemberian hak kepada setiap orang yang berhak menerima dan memelihara
hak bagi kelanjutan eksistensi keadilan Tuhan. (Muthahhari, 1981:66-70). Dengan berbagai
muatan makna ‘adil’ tersebut, secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan di mata hukum, kesamaan hak kompensasi,
hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan dan tidak adanya pihak yang dirugikan
serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan Pada struktur ekonomi, agar
kualitas keseimbangan dapat mengendalikan semua tindakan manusia, maka harus memenuhi
beberapa persyaratan, diantaranya adalah hubungan-hubungan dasar antara konsumsi,
distribusi dan produksi harus berhenti pada suatu keseimbangan tertentu demi menghindari
pemusatan kekuasaan ekonomi bisnis dalam genggaman segelintir orang. Dengan demikian,
keseimbangan, kebersamaan, merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam  keadilan adalah pemerataan pendapatan dan kekayaan, sebab pada dasarnya Allah
menganugerahkan alam semesta adalah untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Dalam
pandangan Islam kekayaan tidak boleh hanya berada di tangan sekelompok kecil orang,
sementara sebagian besar berada dalam kemiskinan. Kekayaan alam semesta harus
didistribusikan dan dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan dengan cara-cara yang
dibenarkan oleh syariah Islam. Distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih merata pada
akhirnya juga merupakan persyaratan penting bagi stabilitas dan keberlanjutan pembangunan
ekonomi dalam jangka panjang.
Prakteknya dalam bisnis :
a. Tidak ada kecurangan dalam takaran dantimbangan
b. Penentuan harga berdasarkan mekanis mepasar yang normal.
3. Kebebasan (free will)
Kehendak bebas merupakan kontribusi Islam yang paling orisinal dalam filsafat sosial
tentang konsep manusia “bebas”. Hanya Tuhan yang bebas, namun dalam batas-batas skema
penciptaan-Nya, manusia juga secara relatif mempunyai kebebasan. (Naqvi, 1993:99).
Kebebasan manusia untuk menentukan sikap - baik atau jahat – bersumber dari posisi
manusia sebagai wakil (khalifah) Allah di bumi dan posisinya sebagai makhluk yang
dianugerahi kehendak bebas. Manusia dianugerahi kebebasan untuk membimbing
kehidupannya sebagai khalifah di muka bumi. Pada batas-batas tertentu, manusia mempunyai
kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan pencapaian kesucian diri.
Prinsip kebebasan ini berlaku, baik bagi manusia secara individu maupun kolektif. Prinsip
kebebasan yang dimaksud adalah suatu keyakinan pada diri seorang muslim, bahwasanya di
samping memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan baik atau buruk yang
ada dihadapannya, Allah juga memiliki kebebasan mutlak. (Shihab,1997:111).
Kebebasan yang dimiliki Tuhan adalah absolut sementara kebebasan manusia bersifat
relatif. Manusia memiliki kebebasan untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan
untuk memperoleh kemaslahatan yang tertinggi dari sumberdaya yang ada pada
kekuasaannya. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memiliki sumberdaya,
mengelolanya dan memanfaatkannya untuk mencapai kesejahteraan hidup. Prinsip kehendak
bebas berarti meniscayakan pembuatan rancangan kepranataan yang wajar untuk menjamin
kebebasan ekonomi bagi individu dalam batas-batas etik yang ditentukan. Tetapi kebebasan
tanpa batas
aktivitas ekonomi. Jika keadilan tegak dimana-mana, maka keharmonisan sosial akan
menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Karena prinsip keseimbangan ini akan mengantar
manusia kepada pencegahan segala bentuk monopoli, penimbunan, pemborosan dan
pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Termasuk dalam dimensi justru berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia. Oleh karena itu kebebasan dibatasi
oleh nilai-nilai Islam. Islam tidak menyetujui hak individu atas kekayaan pribadi tanpa syarat
karena semua kekayaan adalah milik Allah dan manusia hanya merupakan wakil-Nya di
bumi. Oleh karena itu, seseorang tidak mempunyai suatu hak alami yang esklusif atas apa
yang ia peroleh.Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, manusia mempunyai kebebasan
untuk melakukan perjanjian dalam transaksi ekonomi. Seorang muslim yang percaya pada
kehendak Allah, akan memuliakan semua janji yang dibuatnya. Ia merupakan bagian kolektif
dari masyarakat dan mengakui bahwa Allah meliputi kehidupan individual dan sosial.
Dengan demikian, kebebasan kehendak berhubungan erat dengan kesatuan dan
keseimbangan. (Beekun,2000:24-25).
Prakteknya dalam bisnis :
a. Konsep kebebasan dalam Islam lebih mengarah pada kerja sama, bukan persaingan
apalagi sampai mematikan usaha satu sama lain. Kalaupun ada persaingan dalam
usaha maka, itu berarti persaingan dalam berbuat kebaikan atau fastabiq al-khairat
(berlombalombadalam kebajikan).
b. Menepati kontrak, baik kontrak kerja sama bisnis maupun kontrak kerja dengan
pekerja. “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji” (QS. 5:1).
4. Tanggungjawab (responsibility)
Secara logis, prinsip tanggungjawab mempunyai hubungan dengan prinsip kehendak bebas
yang menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan manusia dengan membuatnya
bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya. (Naqvi, 1993:86). Artinya suatu perbuatan
akan terwujud bilamana perbuatan tersebut merupakan produk pilihan sadar dalam situasi
bebas, di mana pertanggungjawaban bisa diberlakukan. Dengan demikian, semakin besar
wilayah kebebasan maka semakin besar pula pula pertanggungjawaban moralnya.
(Hidayat,1995:510).
Prakteknya dalam bisnis :
a. Upah harus disesuaikan dengan UMR (upahminimum regional).
b. Economic return bagi pemebri pinajam modal harus dihitung berdasarkan perolehan
keuntungan yang tidak dapat dipastikan jumlahnya dan tidak bisa ditetapkan terlebih
dahulu seperti dalam sisitem bunga.
c. Islam melarang semua transaksi alegotoris seperti gharar, system ijon, dan
sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar